7.15.2009

Pada Suatu Ketinggian

Itu judul lukisan yang aku tunggu kedatangannya. Fyuh…akhirnya sampai juga. Terkemas rapi dengan banyak selotip di sudutnya. Sejenak aku termenung. Perlahan aku buka gulungan itu untuk mengukur kembali panjang dan lebar lukisan itu, karena sudah lama sekali aku tidak melihat apalagi menyentuhnya.
Bau kanvas.
Harum cat minyak.
Wangi kenangan Yogyakarta.
Kembali kubenahi memori yang tercecer...
Setetes iba melesap dalam ketika pertama mengenal sosok itu...

Postur tubuh yang tak sejajar kerap membuat kehadirannya tak nampak olehku, hingga menginspirasikan ejekan segar bagi teman2nya. Kadang kutemukan kucing kecil kuyup kedinginan pada pipinya yang bersemu jingga.Tak jarang pula kulihat kepedihan berlintasan pada mata itu diantara gelak tawa. Namun tak berapa lama kemudian aku mengetahui bahwa semua rasa itu tak berarti baginya. Ia adalah seorang seniman polos yang emosinya terpelihara dengan berekspresi. Ia dapat tertawa kapan saja ia mau, ia dapat menuangkan airmatanya diatas kanvas, dan ia dapat bercinta dengan selembar kertas.

Namun malam itu berbeda…

November 1997.
Langit Malioboro yang cerah berbintang ternyata membuat warna tersendiri dimatanya. Ia datang memenuhi taksi dengan berjuta keceriaan. Dari balik jendela lambaian tangannya terlihat heboh. Seribu celoteh kental Jawa Timurnya. Aku tergopoh menghampiri karena hampir 15 menit kami terlambat dari waktu yang dijanjikan. Sejenak kemudian aku tersenyum kecut ketika mendapati tak ada kesempatan bicara. Tetapi tak mengapa, karena bibir dan
bahasa tubuh yang riuh meluapkan gairah itu diam2 menyelundupkan sebersit keharuan yang indah. Berbagai kemungkinan tentang kedatangan kami pada pameran bersama itu tak henti ia cecarkan. Aku pun hanya melepas senyum ketika beberapa pasang mata ternyata memang melirik keberadaan kami penuh arti. Beberapa diantaranya sempat gaduh menggoda ketika aku mulai mendorong kursi rodanya menyusuri pelataran Vredeburg.
Oh, empat buah lukisannya telah terpajang anggun. Goresan itu sukses menguraikan dunia lain dari seorang Ponco. Kesedihan yang terbakar letupan gairah hidup. Gorgeous!

“Mas, kenapa setiap tokoh selalu dilukis terbalik dan gak punya ka….”. Ups.
Tiba2 pertanyaanku dipotong kesadaran. Ia memang tidak memilikinya! Namun rupanya ia hany a tersenyum seolah sudah terbiasa dengan reaksi sejenis. “Gak papa kok Ul, emang itu ciri khasku dari dulu. Semua tokohnya berambut panjang dan kubuat terbalik tanpa kaki. Uff, thanx God... Lantas aku coba beralih pada pertanyaan lainnya, “Aliran ini namanya apa Mas?”. Ditanya seperti itu ia hanya terkekeh sambil bertanya pada seorang teman yang terdekat dari posisinya. Pria tersebut ikut terkekeh dan menjawab dengan asal. “Ra mudeng lah ul…terserah mo dibilang apa. Aku juga risih dibilang seniman.” Katanya sambil membeliakkan mata jenaka.
Aku hanya manggut2 sambil terus menyapu ruangan dengan pandangan takjub. Oh cita2 yang tak tercapai…ejek batinku sambil tersenyum sinis…. Yuh kita ngaso didepan, pintanya. Aku mengangguk setuju ketikamenyadari bahwa perutku juga berontak minta diisi. Bibirnya tak pernah berhenti menceritakan kisah2 lucu pada malam itu. Tidak juga pada saat aku kembali mendorong kursi rodanya dengan hati2 menuruni tangga benteng Vredeburg.

Remang lampu jalanan, bau gorengan dan bintang2 cemerlang menyelimuti malam itu. Semilir sejuk Malioboro berhasil membinasakan ketegangan yang sedari tadi nampak jelas di wajah Ponco. Ketika ia diam, terduduk manis menikmati segelas sekoteng hangat, aku pun beringsut meregangkan badan, melepas pegangan pada kursi roda, dan bertopang pada kusi panjang sambil mendongak. “Ya ampun, kayanya udah lama banget gak menatap langit kaya gini yah…” gumamku lirih. Ia ikut menatap kelangit. Menarik napas panjang… tak lama kemudian tersenyum mengangguk.

Senyap sesaat.

Ia meniup halus sekotengnya.

Ketika leherku berputar kearah pengunjung yang baru datang, ia mulai
berbisik lirih , dengan nada pilu.

Tiba2...

Ia mengawali cerita akan masa2 sulit dalam hidupnya. Tentang perjuangan hidupnya sebagai anak piatu tunggal yang dididik keras untuk meniti hidup mandiri tanpa mengenal kata bergantung. Berbagai kisah mengalir deras, menghanyutkan emosi yang sekian lama tertahan bendungan tua. Mata nanarnya menatap ‘sepasang cobaan’ itu. Lalu pelan2 ia merambati mataku. Semakin dalam. Semakin jelas kilauan gelas rapuh pada bola matanya. Semakin terbuka jalur itu. Semakin jelas isi hati seorang Ponco. Semakin aku mengerti, ada kerinduan yang terkikis luka batin. Sekilas aku tersenyum, karena sudah lama aku mengerti bahwa ia sangat berharap semua orang tidak terbeban dengan kehadirannya. Beberapa cinta yang tak terbalas kemudian membuat retakan gelas itu nyaris runtuh dari bola matanya. Oh, jangan! Kupikir ada baiknya bercerita tentang masa depan. Lebih baik kita melebur tawa di jantung kota…

Malam meranjat syahdu ketika beberapa pengamen membawakan lagu ‘Yogyakarta’ buat kami. Ia terbahak sembari melontar ledekan bahwa lagu itu dipilih karena dandananku terlalu ke-turis2an malam itu. Kontan saja aku mengelak dan membuktikan ke-Jawa-anku dengan logat medok yang ngawur. Rombongan pengamen itu pun lantas ikut tergelak. Kilatan bahagia
terpancar jelas dari matanya saat itu… diantara derai-derai tawa yang indah…

Kenangan itu kemudian membekas abadi pada selembar kanvas 1,5 x 2 meter, berwarna terang, yang ia bilang telah dibuat jauh sebelum keakraban kami terjalin. Sebelum semua surat2 itu datang, sebelum aku bertandang ke workshop dan sebelum pameran itu kami hadiri, rupanya ia sempat memandangku dari jendela di kejauhan. Saat itu, namaku menggelayuti angannya dan diam2 tertuang sebagai cahaya lembut.

Rembulan dilangit merah yang sepi.

Bundar dan landai.

Kembali kupandangi lukisan expressionist itu. Sesosok manusia gondrong yang bergantung terbalik. Ia bergigi lima, dengan bola mata mencuat dan bintik hati berwarna putih yang terselimuti lapisan hitam.

Kutelusur gurat2an halus itu dengan jemari…..

Ponco = Lima

Nurul = Cahaya

Pada Suatu Ketinggian = Semoga engkau menatapku dengan bahagia dari sisi-Nya.

“Selamat jalan mas Ponco.”

No comments: